Jika pada awal abad ke 20 sebagian besar kaum marhaen berada di pedesaan (Soekarno, 1964), pada awal abad ke 21 banyak dari mereka yang bekerja di perkotaan. Istilah marhaen, pertama-kali diperkenalkan oleh Soekarno (2016) ketika bertemu seorang petani miskin di daerah Bandung Selatan pada tahun 1920an. Marhaen merupakan sebutan untuk pekerja yang bekerja dengan alat produksi/kerja yang disediakan sendiri, yang mana hasilnya hanya cukup untuk bertahan hidup atau subsisten. Pada awal abad ke 20, sebagian besar kaum marhaen tinggal di pedesaan, mereka adalah para petani miskin. Jumlah mereka pada tahun 1930an diperkirakan mencapai se-kitar 95% penduduk Indonesia (Soekarno, 1964). Para petani ini terjerat kemiskinan akibat kolonialisme, yang membuat penguasaan tanahnya kurang dari 0,5 hektar, sehingga hasilnya hanya cukup untuk menunjang kehidupan sehari-hari bahkan kurang ketika pajak dinaikan, ada kerja paksa, dan ketika gagal panen atau ada serangan hama.
TULISAN ini adalah chapter dalam buku “Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig: Analisis Kondisi Pekerja Berstatus Mitra di Indonesia” yang diterbitkan IGPA Press pada tahun 2024. Untuk membaca secara lengkap, silahkan unduh DI SINI.