Beberapa tahun terakhir kita sering melihat berita tentang pertemuan antara pejabat negara dengan para pengemudi ojek online (ojol). Salah satu yang cukup ramai diperbincangkan adalah pertemuan Wakil Presiden Gibran Rakabumi Raka dengan perwakilan ojol di Istana Negara pada 31 Agustus 2025. Media massa memberitakan acara itu dengan tajuk manis: Gibran makan siang bareng ojol, bahkan disebut ia “sefrekuensi untuk [ikut mengatasi] permasalahan yang saat ini sedang terjadi”.
Namun tak lama setelah pertemuan itu, muncul gelombang kritik di media sosial. Banyak warganet dan pengemudi mencurigai bahwa sosok yang hadir bukanlah ojol biasa, melainkan orang dekat Gibran atau Jokowi yang sengaja “dilabeli” sebagai ojol demi mendongkrak citra. Tak lama berselang, muncul klarifikasi dari perusahaan platform yang menyatakan bahwa perwakilan yang makan bareng Wapres Gibran adalah benar-benar “mitra” ojol di perusahaannya.
Alih-alih larut dalam kecurigaan yang tak berkesudahan, esai ini mencoba mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: benarkah sosok yang disebut perwakilan ojol tersebut benar-benar mewakili jutaan driver yang setiap hari bergelut dengan ketidakpastian order, potongan tinggi, dan beban biaya operasional? Ataukah mereka hanyalah pengemudi pilihan perusahaan platform untuk mewakili kepentingan platform?
Jawaban atas pertanyaan di atas penting untuk dibaca, bukan sekadar sebagai ungkapan kekecewaan, melainkan juga sebagai pintu masuk untuk membahas politik representasi: siapa yang dipilih untuk berbicara, siapa yang memilih, dan untuk kepentingan apa.
Representasi sebagai Pertarungan Makna
Stuart Hall, salah satu tokoh penting dalam kajian budaya, menekankan bahwa representasi bukan sekadar cermin realitas. Representasi adalah proses konstruksi makna. Identitas sosial tidak pernah hadir begitu saja, melainkan dibentuk melalui praktik diskursif, media, dan relasi kuasa.
Dalam perspektif kritis, representasi selalu problematis. Ia melibatkan pemilihan tertentu, tentang siapa yang ditampilkan, bagaimana mereka digambarkan, apa yang disuarakan, dan suara apa yang disingkirkan. Karena itu, representasi bukan sekadar urusan teknis menghadirkan perwakilan, melainkan juga arena politik: pertarungan untuk menentukan makna kolektif pada sebuah kelompok.
Ketika negara atau perusahaan menghadirkan “ojol” dalam pertemuan resmi, sebenarnya yang diproduksi bukan sekadar sosok individu. Ia adalah simbol. Sosok itu diposisikan untuk mewakili jutaan pengemudi. Tetapi, yang lebih penting, ia dapat menjadi simbol yang dibentuk agar sesuai dengan narasi dominan: bahwa kemitraan platform berjalan harmonis, bahwa negara dekat dengan rakyat, dan bahwa suara pengemudi telah tersalurkan.
Siapa yang Dipilih dan Siapa yang Memilih?
Pertanyaan kunci dalam politik representasi adalah: siapa yang dipilih untuk mewakili, dan siapa yang memiliki kuasa memilih? Dalam banyak kasus pertemuan pejabat publik dengan ojol, proses pemilihan perwakilan tidak transparan.
Biasanya perusahaan platform menjadi aktor kunci. Mereka memiliki jaringan komunitas resmi atau paguyuban yang dibina. Dari komunitas itulah perwakilan dipilih, sering kali dengan pertimbangan loyalitas, kedekatan, atau kerelaan untuk tampil positif. Hal ini menjelaskan mengapa pengemudi yang dihadirkan cenderung “pro-perusahaan” atau setidaknya tidak kritis.
Dari sisi pemerintah, menghadirkan perwakilan yang kritis dianggap berisiko. Bayangkan jika seorang pengemudi tiba-tiba menuntut penghapusan potongan 20 persen, berteriak lantang tentang ketiadaan regulasi yang telah membuat ojol tereksploitasi, atau menyinggung soal jaminan sosial yang tidak ditanggung oleh platform. Alih-alih menjadi panggung harmoni, acara itu bisa berbalik menjadi panggung gugatan. Karena itu, yang dipilih penguasa adalah sosok aman: mereka yang bisa berterima kasih kepada negara dan platform, tanpa menyinggung isu-isu struktural.
Dengan demikian, representasi ojol yang tampil di ruang publik adalah hasil seleksi politik. Mereka bukanlah wajah yang lahir secara organik dari pengalaman kolektif pengemudi, melainkan hasil kurasi dari aktor-aktor dominan.
Politik Kepentingan di Balik Representasi
Mengapa perusahaan dan negara begitu peduli dengan siapa yang mewakili ojol? Jawabannya sederhana: legitimasi.
Bagi perusahaan, menghadirkan pengemudi yang loyal memberi kesan bahwa mayoritas mitra puas dengan kondisi kerja. Narasi ini penting untuk menjaga citra, terutama di tengah kritik luas tentang eksploitasi kerja dalam ekonomi platform. Jika yang tampil adalah pengemudi yang marah atau kecewa, narasi “kemitraan yang harmonis” bisa runtuh.
Bagi negara, menghadirkan ojol yang “jinak” berfungsi sebagai bukti simbolis bahwa pemerintah mendengar suara rakyat. Foto makan siang bersama presiden atau wakil presiden beredar luas di media, menciptakan citra kedekatan dengan rakyat kecil. Namun, citra itu semu, karena suara yang benar-benar mewakili aspirasi mayoritas pengemudi justru tidak hadir.
Proses ini pada akhirnya berfungsi sebagai mekanisme depolitisasi. Dengan menghadirkan representasi yang aman, isu-isu struktural seperti eksploitasi, ketidakpastian kerja, dan absennya jaminan sosial tidak pernah sampai ke meja pengambilan keputusan. Identitas ojol direduksi menjadi simbol kepatuhan dan kesyukuran, bukan subjek politik yang menuntut keadilan.
Identitas Ojol: Dari Jalanan ke Ruang Kekuasaan
Di jalanan, identitas ojol adalah pekerja yang setiap hari berhadapan dengan risiko: kecelakaan, kejar setoran, terjerat utang kendaraan, hingga persaingan algoritme yang tak transparan. Tetapi di ruang kekuasaan, identitas itu direduksi menjadi wajah yang tersenyum di samping pejabat negara.
Perbedaan ini menunjukkan apa yang disebut sebagai hegemonisasi identitas. Identitas yang beragam dan penuh kontradiksi dipangkas menjadi satu versi yang sesuai dengan narasi dominan. Suara-suara kritis disingkirkan, sementara yang disuarakan adalah rasa syukur dan kepuasan.
Padahal, penelitian saya dan tim tentang pekerja gig di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas pengemudi justru mengeluhkan kondisi kerja. Mereka menghadapi potongan platform yang tinggi, beban biaya operasional yang ditanggung sendiri, serta ketiadaan perlindungan sosial. Banyak dari mereka harus bekerja 12-14 jam per hari hanya untuk mendapatkan pendapatan yang juga sulit memenuhi kebutuhan hidup layaknya. Dengan kata lain, ada jurang lebar antara realitas di jalanan dan representasi di ruang kekuasaan.
Politik Representasi sebagai Politik Penyingkiran?
Kritik terhadap siapa yang mewakili ojol sebenarnya adalah kritik terhadap politik penyingkiran. Dengan menghadirkan sosok “aman”, suara-suara kritis dihapus dari ruang publik. Publik yang melihat tayangan media akan percaya bahwa pengemudi puas, bahwa perusahaan adil, dan bahwa pemerintah peduli.
Di sini kita melihat bagaimana representasi berfungsi sebagai alat kontrol. Ia tidak hanya menampilkan, tetapi juga menyembunyikan. Tidak hanya memberi ruang, tetapi juga menutup ruang.
Dalam konteks kapitalisme platform, representasi yang aman membantu melanggengkan relasi kuasa yang timpang. Perusahaan tetap bisa mengekstraksi nilai dari kerja pengemudi, negara bisa menjaga citra sebagai pendengar aspirasi, sementara realitas ketidakadilan tetap tersembunyi.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama-tama, penting bagi publik untuk menyadari bahwa representasi bukan hal netral. Kita perlu kritis ketika melihat “ojol” hadir dalam acara resmi. Pertanyaannya bukan hanya siapa mereka, tetapi juga siapa yang tidak hadir.
Kedua, pengemudi sendiri perlu membangun representasi alternatif. Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat munculnya serikat atau komunitas independen yang mencoba mengartikulasikan suara pengemudi secara kolektif. Meski sering terpinggirkan dari panggung resmi, mereka memainkan peran penting dalam menantang representasi dominan.
Ketiga, akademisi, media, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab untuk memperluas ruang bagi suara-suara kritis. Dengan begitu, identitas ojol tidak lagi dimonopoli oleh perusahaan atau negara, tetapi menjadi arena negosiasi yang lebih adil.
Pertarungan Makna yang Tak Pernah Usai
Kontroversi tentang siapa yang mewakili ojol di meja makan presiden atau wakil presiden mengingatkan kita bahwa identitas selalu diproduksi dalam relasi kuasa. Representasi ojol bukan hanya soal individu, melainkan juga soal siapa yang memiliki kuasa menentukan makna.
Dalam kerangka teori politik representasi, kita harus melihat representasi sebagai pertarungan makna. Pertarungan itu kini sedang terjadi: antara representasi jinak yang diproduksi perusahaan dan negara, dan representasi kritis yang lahir dari pengalaman pengemudi di jalanan.
Pertanyaannya, representasi mana yang akan menang? Jawabannya bergantung pada sejauh mana publik bersedia membuka ruang bagi suara-suara kritis. Tanpa itu, identitas ojol akan terus direduksi menjadi simbol kepatuhan, sementara realitas ketidakadilan tetap tersembunyi di balik senyum manis dalam foto makan siang bersama pejabat negara.