Program “Grab Hemat” sebagai cara platform mengakali regulasi dan memperdalam eksploitasi

Sejak Grab dan Gojek meluncurkan platform ride-hailing di Indonesia pada tahun 2014/2015, transportasi online telah menjadi solusi praktis bagi masyarakat, terutama di wilayah urban, untuk melakukan mobilitas. Dengan sentuhan teknologi, layanan ojek dan taksi konvensional menjelma menjadi platform yang menjanjikan efisiensi, fleksibilitas kerja, dan kemudahan bagi konsumen. 

Namun, dibalik narasi kemajuan dan inovasi ini, tersembunyi relasi kuasa yang timpang antara perusahaan platform dan para pengemudi, serta dilema hukum yang tak kunjung selesai. Salah satu fenomena terbaru yang mencerminkan persoalan dalam kapitalisme digital adalah program “Grab Hemat”—sebuah model promosi yang sejatinya membebankan biaya kepada pengemudi demi menarik konsumen dengan biaya layanan yang lebih murah.

Jika dianalisis secara kritis, program Grab Hemat merupakan ilustrasi paling mutakhir dari bagaimana platform digital terus mencari cara untuk memaksimalkan keuntungan, sekalipun itu berarti menggerus kesejahteraan para pengemudi yang menopang operasional platform. Dalam konteks ini, kita menyaksikan kerja kapitalisme digital yang semakin agresif, semakin dalam menghisap nilai dari relasi transaksi antara konsumen dan pengemudi. Apa yang tampak sebagai inovasi dalam setiap program promosi, sejatinya adalah bentuk intensifikasi eksploitasi.

Kapitalisme Platform dan Cara Memperoleh Laba

Kapitalisme platform merupakan konfigurasi baru dari sistem kapitalisme yang bertumpu pada infrastruktur digital sebagai medium utama untuk memfasilitasi sekaligus memonetisasi interaksi sosial maupun ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Nick Srnicek (2017), platform seperti Uber, Grab, Gojek, Maxim, dan Shopee Food tidak secara langsung memproduksi barang atau jasa. Sebaliknya, peran mereka sebenarnya hanya menyediakan ruang digital yang mempertemukan dua pihak utama: konsumen dan penyedia layanan—dalam hal ini, pengemudi. Pada konteks tersebut, platform beroperasi sebagai perantara (digital intermediary) yang menghubungkan permintaan konsumen dan penawaran jasa dari pengemudi.

Akan tetapi, karena posisi platform yang dominan, maka memungkinkan bagi mereka untuk mengontrol data, algoritma, hingga mengatur arsitektur interaksi di antara konsumen dan pengemudi. Kondisi ini yang membuat posisi Gojek, Grab atau Maxim dalam kapitalisme platform bukan lagi hanya menjadi penghubung, tetapi juga menjadi penentu aturan main dalam ekosistem yang mereka ciptakan sendiri. Dominasi dan kontrol ini memberi ruang bagi perusahaan platform untuk mengambil sebanyak mungkin (baca: mencari pendapatan sebesar-besarnya) dari setiap transaksi antara konsumen dan pengemudi.

Dalam konteks ini, kutipan Karl Marx dalam bukunya Das Kapital (1867) menjadi relevan:

“Modal adalah kerja mati, yang, layaknya vampir, hanya bisa hidup dengan menghisap kerja hidup, dan semakin ia menghisap kerja, semakin ia hidup.”

Kapitalisme digital, sebagaimana tercermin dalam model bisnis platform, menjelma menjadi bentuk baru dari sistem vampiristik: ia tidak tumbuh dari penciptaan nilai secara langsung, melainkan dari proses penyedotan atau pengambilan hasil kerja dari para pekerja yang terus aktif bekerja. Platform seperti Grab atau Gojek menjadi contoh kontemporer dari logika ini—mereka mengandalkan mekanisme pengumpulan data, penggunaan algoritma prediktif, dan sistem manajemen berbasis digital untuk mengoptimalkan ekstraksi nilai dari kerja pengemudi, tanpa harus menanggung kewajiban sebagai pemberi kerja, seperti jaminan sosial, upah minimum, atau pemenuhan kondisi kerja yang layak.

Dengan demikian, platform bukan hanya entitas bisnis, tetapi juga mekanisme politik-ekonomi yang mereproduksi ketimpangan kekuasaan antara pemilik infrastruktur digital dan para pekerja yang bergantung padanya. Artinya, di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan kepada konsumen, tersembunyi struktur eksploitasi yang terhubung erat dengan transformasi kapitalisme di era digital.

Tabel 01. Ketentuan Tarif Minimal pada Ojek Online di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan RI No. 667 Tahun 2022

Grab Hemat dan Logika “Tidak Pernah Cukup”

Program seperti Grab Hemat merepresentasikan bentuk mutakhir dari strategi akumulasi kapital dalam sistem ekonomi digital yang sangat fleksibel terhadap regulasi namun rigid terhadap hak pekerja. Program ini secara halus mengakali ketentuan Permenhub No. 12 Tahun 2019 dengan turunan Keputusan Menteri Perhubungan RI No. 667 Tahun 2022, dengan dalih promosi dan kompetisi pasar. Dalam skema ini, pengemudi dipotong sebesar Rp1.000–Rp2.500 untuk setiap order Grab Hemat yang mereka ambil (lihat Gambar 01). Jika dibandingkan dengan tarif minimum per kilometer yang ditetapkan pemerintah, yakni sekitar Rp2.000/km–Rp2.500/km untuk Zona I (lihat Tabel 01), maka potongan tersebut cukup signifikan ketika dikalkulasi secara kumulatif.

Potongan dalam program Grab Hemat ini, pada akhirnya membuat bayaran bagi pengemudi menjadi di bawah ketentuan yang diatur oleh pemerintah. Sehingga, Grab telah melanggar regulasi tentang tarif di sektor transportasi online. Hal ini dapat terlihat pada ilustrasi pendapatan pengemudi Grab di daerah Jabodetabek sebagaimana tabel di bawah ini:

Jumlah Order dengan Tarif Batas BawahPendapatan yang Diterima Driver sesuai RegulasiPendapatan Driver akibat Ikut Program Grab HematSelisih Pendapatan
1 order10.2007.2003.000
2 order20.40017.4003.000
3 order30.60022.1008.500
4 order40.80032.3008.500
5 order51.00037.50013.500
6 order61.20047.70013.500
7 order71.40053.40018.000
8 order81.60063.60018.000
9 order91.80073.80018.000
10 order102.00082.00020.000

Grab menyatakan bahwa tujuan program Grab Hemat adalah meningkatkan volume orderan karena layanan lebih murah akan menarik lebih banyak konsumen. Namun, narasi ini menyamarkan realitas struktural: bahwa beban biaya promosi tidak ditanggung oleh perusahaan, melainkan dialihkan ke pundak pengemudi. Dalam konteks di mana pengemudi menanggung seluruh sarana kerja—kendaraan, bahan bakar, pemeliharaan, bahkan data internet—tambahan potongan ini bukan hanya sekadar pengurangan penghasilan, tetapi bentuk eksploitasi tambahan yang dilembagakan.

Gambar 01. Skema Program Grab Hemat dan Slot di Grab

Skema Program Grab HematSkema Program Slot di Grab

Perkembangan potongan dan beban kerja dalam ekosistem platform menunjukkan pola yang konsisten yaitu perusahaan terus berupaya mengambil sebanyak mungkin. Pada awalnya, potongan komisi hanya sekitar 10% per transaksi–atau 90% biaya yang dibayarkan konsumen diterima oleh pengemudi dan 10% diterima platform sebagai komisi.

Namun, seiring waktu, potongan ini meningkat menjadi 20%, ditambah lagi dengan pengenalan biaya tambahan seperti platform fee atau biaya layanan yang nilainya Rp2.000-4.000 per transaksi yang 100% masuk ke kantong platform. Inovasi lain yang kemudian muncul di Grab dan Gojek, seperti sistem double order (dua pesanan dalam satu perjalanan), skema slot berbayar dengan dalih agar pengemudi memperoleh sebanyak mungkin orderan, biaya langganan menjadi anggota premium yang mendapat privilese, serta sistem pengantaran jarak dekat dengan bayaran tetap sebesar Rp5.000 per orderan (dikenal sebagai argo goceng atau “aceng”), semakin menurunkan daya tawar dan pendapatan riil pengemudi. Grab Hemat adalah kelanjutan dari pola ini, di mana setiap “inovasi” baru sebenarnya adalah strategi untuk mengalihkan beban biaya ke pengemudi dan memperbesar margin keuntungan perusahaan.

Penelitian dari IGPA UGM mencatat bahwa mayoritas pengemudi online di Indonesia bekerja lebih dari 13 jam per hari. Namun, pendapatan mereka bukannya naik, malah terus menurun karena skema penentuan order yang tidak transparan, semakin kecilnya insentif, potongan yang terus meningkat, dan sistem algoritmik yang tidak bisa dinegosiasikan. Dengan logika “tidak pernah cukup” yang telah melahirkan program slot, aceng, multiple order, hingga Grab Hemat, alih-alih peningkatan kesejahteraan, para pengemudi online justru semakin mengalami kerentanan.

Gambar 01. Perbedaan Harga pada Layanan Grab (kiri) dan Riwayat Potongan dari Program Grab Hemat dan Slot (kanan)

Program seperti Grab Hemat, meski diklaim sebagai program “opsional”, pada kenyataannya program ini bersifat koersif secara struktural. Pengemudi yang tidak ikut serta atau pengemudi reguler, akan mengalami penurunan drastis dalam jumlah order yang mereka terima, karena konsumen cenderung akan memilih layanan dengan harga yang lebih murah. Dalam Gambar 01. biaya GrabBike Hemat dalam sebuah perjalanan adalah Rp10.500 dengan informasi tambahan “lebih dekat, lebih hemat” dibanding biaya GrabBike “reguler” yang sebesar Rp13.000. Dengan selisih Rp2.500, sebagian besar konsumen dengan logika kompetitifnya pasti akan memilih layanan GrabBike Hemat yang lebih murah dibanding GrabBike “reguler”. Hal yang sering tidak diketahui konsumen, bahwa selisih Rp2.500 itu (baik sebagian besar atau seluruhnya) dibebankan kepada pengemudi dengan skema langganan pada program Grab Hemat.

Dalam logika pasar bebas yang dikendalikan platform, konsumen cenderung memilih efisiensi biaya tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kondisi kerja pengemudi. Dengan demikian, apa yang tampak sebagai pilihan bebas sebenarnya adalah bentuk tekanan pasar yang didesain untuk memaksa pengemudi tunduk pada ketentuan perusahaan. Beberapa pengemudi Grab yang saya temui, menyebutkan bahwa mereka dengan berat hati mengikuti program Grab Hemat demi memperoleh potensi pendapatan yang lebih besar–karena tidak ada opsi lain yang lebih layak yang tersedia.

Seorang pengemudi Grab menyampaikan keluhannya ketika mengikuti program Grab Hemat, bahwa:

“yang buat [program Grab hemat] kagak ngotak, asli gak ada otak. Hari ini dapat Grab Hemat 5 order totalnya Rp51.000, dipotong Rp13.500 karena ikut Grab Hemat [lihat Gambar 01], pengeluaran buat bensin 15.000, jadinya buset deh seharian cuma dapat duit 22.500, buat makan aja kurang.”

Keluhan lain juga disampaikan pengemudi di media sosial miliknya, bahwa “guys, ada info loker gak? Ngojol beneran udah gabisa di harapin njir, mau narik malah suruh bayar biaya langganan.” Ungkapan ini bukan sekadar keluhan individual, melainkan penanda dari krisis struktural dalam dunia kerja digital. Ketika akumulasi keuntungan menjadi satu-satunya logika yang dijalankan perusahaan, maka kondisi kerja yang layak dan jaminan kesejahteraan bagi para pekerja menjadi aspek yang dikorbankan.

Berbagai aksi protes dari pengemudi Grab pun telah berlangsung di berbagai kota, dari Malang, Bandung, Kupang, Cirebon, hingga Semarang untuk menolak program Grab Hemat. Organisasi/aliansi pengemudi online di berbagai daerah, juga akan menggelar aksi protes ketika program Grab Hemat dan berbagai program yang merugikan pengemudi tidak dihapuskan.

Catatan Penutup

Grab Hemat bukan sekadar strategi promosi sesaat, melainkan cerminan dari logika akumulasi tanpa henti dalam kapitalisme digital. Ia memperlihatkan bagaimana platform bekerja layaknya vampir kontemporer—menyedot tenaga kerja, waktu, dan sumber daya hidup pengemudi demi mempertahankan dan memperluas profit.

Dalam sistem ini, fleksibilitas kerja menjadi eufemisme bagi relasi kerja yang tidak pasti, berisiko tinggi, dan minim perlindungan. Model kerja seperti ini bukan hanya memperluas ketimpangan, tetapi juga mendistorsi nilai-nilai keadilan sosial dalam pasar tenaga kerja. Ketika biaya operasional, risiko kerja, dan bahkan beban promosi dibebankan seluruhnya kepada pengemudi, maka yang terjadi bukan sekadar ketimpangan, tetapi bentuk eksploitasi struktural yang dilembagakan melalui teknologi.

Oleh karena itu, perlindungan terhadap pengemudi online tidak bisa lagi dilihat sebagai kebijakan sektoral semata. Ia harus menjadi bagian dari kerangka keadilan sosial yang lebih luas, yang memandang kerja digital sebagai bagian dari hak ekonomi warga negara. Negara perlu membangun regulasi yang tidak hanya menetapkan batas tarif dan potongan, tetapi juga menjamin transparansi algoritma, pengawasan terhadap beban kerja, dan pengakuan atas status kerja pengemudi.

Lebih jauh, perlawanan terhadap vampirisme digital ini harus dibangun dari dua arah. Pertama, melalui dorongan untuk merumuskan regulasi yang progresif, transparan, dan berpihak kepada pekerja, termasuk mekanisme partisipatif dalam proses penyusunannya. Kedua, dengan membangun kekuatan dan kesadaran kolektif di tengah masyarakat bahwa layanan murah dan praktis yang kita nikmati setiap hari sering kali disubsidi oleh kerja keras yang tidak terlihat dan tidak dihargai dengan layak.

Tanpa upaya untuk mengintervensi relasi kuasa dalam ekonomi platform, kita hanya akan terus menjadi saksi atas reproduksi ketimpangan dalam bentuk yang semakin canggih, semakin tersembunyi, dan semakin sulit dilawan.

Subscribe to our newsletter!

Foto: Liputan6/Helmi Fithriansyah

3 thoughts on “Program “Grab Hemat” sebagai cara platform mengakali regulasi dan memperdalam eksploitasi

  1. Masalah nya banyak driver bloon….
    dengan alasan anyep akhirnya mereka ikut gabung dalam program gila Grab Bike Hemat jadinya program tersebut berjalan dan bagi aplikator hal itu berarti program nya sukses…

    1. Grab Hemat itu gak memaksa driver woi, sifatnya yang mau ikut silahkan, yang gak ikut ya gak dihukum. Jadi berlebihan kalau ini eksploitasi, toh gak ada yang dipaksa kan, apalagi sifatnya kemitraan yang setara

  2. Tulisannya top banget, ciri khasnya mas Arif. Moga banyak yang baca biar banyak yg trcrahkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verified by MonsterInsights